The consensus interpretation in modern anthropology is that nearly all indigenous peoples of South East Asia, including the Dayaks, are descendants of a larger Austronesian migration from Asia, thought to have settled in the South East Asian Archipelago some 3,000 years ago. The first populations spoke closely-related Austronesian languages, from which Dayak languages are traced. About 2,450 years ago, metallurgy was introduced; it later became widespread.[citation needed]
The main ethnic groups of Dayaks are the Bakumpai and Dayak Bukit of South Kalimantan, The Ngajus, Baritos, Benuaqs of East Kalimantan, the Kayan and Kenyah groups and their subtribes in Central Borneo and the Ibans, Embaloh (Maloh), Kayan, Kenyah, Penan, Kelabit, Lun Bawang and Taman[disambiguation needed] populations in the Kapuas and Sarawak regions. Other populations include the Ahe, Jagoi, Selakau, Bidayuh, and Kutais.
The Dayak people of Borneo possess an indigenous account of their history, partly in writing and partly in common cultural customary practices.[citation needed] In addition, colonial accounts and reports of Dayak activity in Borneo detail carefully cultivated economic and political relationships with other communities as well as an ample body of research and study considering historical Dayak migrations.[citation needed] In particular, the Iban or the Sea Dayak exploits in the South China Seas are documented, owing to their ferocity and aggressive culture of war against sea dwelling groups and emerging Western trade interests in the 19th and 20th centuries.[citation needed]
During World War II, the Japanese occupied Borneo and treated all of the indigenous peoples poorly - massacres of the Malay and Dayak peoples were common, especially among the Dayaks of the Kapit Division.[5] Following this treatment, the Dayaks formed a special force to assist the Allied forces. Eleven United States airmen and a few dozen Australian special operatives trained a thousand Dayaks from the Kapit Division to battle the Japanese with guerilla warfare. This army of tribesmen killed or captured some 1,500 Japanese soldiers and were able to provide the Allies with intelligence vital in securing Japanese-held oil fields.[6]
Coastal populations in Borneo are largely Muslim in belief, however these groups (Ilanun, Melanau, Kadayan, Bakumpai, Bisayah) are generally considered to be Islamized Dayaks, native to Borneo, and heavily influenced by the Javanese Majapahit Kingdoms and Islamic Malay Sultanates.
Penduduk Asli Pulau Borneo
Panglima Dayak
![Panglima Dayak](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHQvji0jG31KJu2rysKIQ484HDEp3GbTYVVoumPEnUk2BtFYCfZm9l4i0Vng0oeysrxZdXGStodXsE1Y18Ep2MRuUZxPpYvHVO3a3DoWeSke-VZr7l7gjJknvkR_dWrC78Acbcnk7Or9w/s748/panglima-sumpit.jpg)
Minggu, 27 Maret 2011
SENI MUSIK KUTAI
Seni Suara/Musik Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Diantaranya adalah:
1. Musik Tingkilan
Para pemain musik tingkilan KutaiPhoto: Agri, 2002 |
Seni musik khas suku Kutai adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
2. Hadrah
Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.
Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.
SENI PAHAT & PATUNG
Fungsi Patung Bagi Suku Dayak
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.
Patung Ajimat
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung Kelengkapan Upacara
Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
|
Patung Alat Upacara
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.
Motif Pahatan Suku Dayak
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.
SENI TARI KUTAI
Seni tari suku Kutai dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni Seni Tari Rakyat dan Seni Tari Klasik.
Seni Tari Rakyat
Merupakan kreasi artistik yang timbul ditengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
Yang termasuk dalam Seni Tari Rakyat adalah:
Merupakan kreasi artistik yang timbul ditengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
Yang termasuk dalam Seni Tari Rakyat adalah:
1. Tari Jepen
Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung (semacam kendang kecil).
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Seni Tari Klasik
Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau.
Yang termasuk dalam Seni Tari Klasik Kutai adalah:
Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau.
Yang termasuk dalam Seni Tari Klasik Kutai adalah:
1. Tari PersembahanDahulu tarian ini adalah tarian wanita kraton Kutai Kartanegara, namun akhirnya tarian ini boleh ditarikan siapa saja. Tarian yang diiringi musik gamelan ini khusus dipersembahkan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung ke Kutai dalam suatu upacara resmi. Penari tidak terbatas jumlahnya, makin banyak penarinya dianggap bagus.
|
2. Tari GanjurTari Ganjur merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakan alat yang bernama Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan memiliki tangkai untuk memegang). Tarian ini diiringi oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).
3. Tari Kanjar
Tarian ini tidak jauh berbeda dengan Tari Ganjur, hanya saja tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita dan gerakannya sedikit lebih lincah. Komposisi tariannya agak lebih bebas dan tidak terlalu ketat dengan suatu pola, sehingga tarian ini dapat disamakan seperti tari pergaulan. Tari Kanjar dalam penyajiannya biasanya didahului oleh Tari Persembahan, karena tarian ini juga untuk menghormati tamu dan termasuk sebagai tari pergaulan.
Tarian ini tidak jauh berbeda dengan Tari Ganjur, hanya saja tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita dan gerakannya sedikit lebih lincah. Komposisi tariannya agak lebih bebas dan tidak terlalu ketat dengan suatu pola, sehingga tarian ini dapat disamakan seperti tari pergaulan. Tari Kanjar dalam penyajiannya biasanya didahului oleh Tari Persembahan, karena tarian ini juga untuk menghormati tamu dan termasuk sebagai tari pergaulan.
4. Tari Topeng Kutai
Tari ini asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan Singosari dan Kediri. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya.
Tari Topeng Kutai terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:
01. Penembe
02. Kemindhu
03. Patih
04. Temenggung
05. Kelana
06. Wirun
07. Gunung Sari
08. Panji
09. Rangga
10. Togoq
11. Bota
12. Tembam
Tari ini asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan Singosari dan Kediri. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya.
Tari Topeng Kutai terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:
01. Penembe
02. Kemindhu
03. Patih
04. Temenggung
05. Kelana
06. Wirun
07. Gunung Sari
08. Panji
09. Rangga
10. Togoq
11. Bota
12. Tembam
|
Tari Topeng Kutai hanya disajikan untuk kalangan kraton saja, sebagai hiburan keluarga dengan penari-penari tertentu. Tarian ini juga biasanya dipersembahkan pada acara penobatan raja, perkawinan, kelahiran dan penyambutan tamu kraton.
5. Tari Dewa MemanahTarian ini dilakukan oleh kepala Ponggawa dengan mempergunakan sebuah busur dan anak panah yang berujung lima. Ponggawa mengelilingi tempat upacara diadakan sambil mengayunkan panah dan busurnya keatas dan kebawah, disertai pula dengan bememang (membaca mantra) yang isinya meminta pada dewa agar dewa-dewa mengusir roh-roh jahat, dan meminta ketentraman, kesuburan, kesejahteraan untuk rakyat.
SENI TARI DAYAK
1. Tari GantarTarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
|
2. Tari Kancet Papatai / Tari PerangTarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
|
3. Tari Kancet Ledo / Tari GongJika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet LasanMenggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari LelengTarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
|
6. Tari HudoqTarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
|
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk KinaTarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari DatunTarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Kamis, 24 Maret 2011
Asal Mula
Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut berasal dari China selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq ) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa ( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[2] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[3]
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[4]
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat . Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq ) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa ( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[2] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.[3]
[sunting] Pembagian sub-sub etnis
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman . Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[4]
[sunting] Dayak pada masa kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Borneo. sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok proto melayu ( Moyang Dayak yang berasal dari yunnan ) dari yunnan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
[sunting] Contoh Budaya Dayak
[sunting] Rumah Panjang
Hampir semua Orang Dayak kecuali Dayak punan dan Dayak Meratus, mempunyai rumah panjang di masa lampau. Rumah panjang merupakan gabungan atau gandengan rumah-rumah tunggal warga Dayak dalam satu desa. Rumah panjang di bangun agar persatuan atau kekuatan dari warga desa terkonsentrasi, ketika menghadapi serangan dari luar kampung atau luar kelompok ( Kayau ) atau serangan binatang buas. Rumah panjang di dibangun dalam rupa rumah panggung yang memanjang. Semua material rumah panjang dibuat dari kayu keras seperti kayu ulin atau belian. Mulai dari sirap ( atap kayu ),tiang, rangka, dinding, lantai hingga tangga. Dimasa kini rumah panjang yang tersisa sudah sangat sedikit. Umumnya rumah panjang di bongkar karena warga penghuninya memilih membangun rumah tinggal tunggal. Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Borneo. Berdasarkan data pengukuran karbon yang terdapat pada fosil tengkorak yang pernah ditemukan di gua Niah Sarawak Malaysia [5] [6] diketahui bahwa tengkorak yang sangat mirip dengan tengkorak orang Dayak Punan tersebut telah berusia mencapai 40.000 tahun. Jadi dengan berasumsikan bahwa tengkorak tersebut benar-benar tengkorak Dayak punan, maka jelas bahwa Dayak Punan merupakan salah satu puak nenek moyang Bangsa Dayak Borneo setelah berasimilasi dengan puak nenek moyang Dayak yang berasal dari Yunnan. Dengan mengetahui betapa tuanya keberadaan Dayak Punan di borneo ( bahwa mereka datang jauh sebelum peradaban manusia planet bumi mengenal logam ), maka dapat dimaklumi jika mereka kurang memiliki peradaban desa dan lebih menyukai cara-cara hidup nomaden, karena itu rumah mereka dibangun seadanya ( umumnya hanya berupa gubuk ). Meskipun demikian sampai detik ini hanya segelintir warga Dayak punan saja yang masih senang hidup nomaden, sementara kelompok mayoritas telah membangun pemukiman seperti masyarakat Dayak Lain. Pada masyarakat Dayak Meratus ( Bukit ) rumah mereka di kenal dengan sebutan Balai. Istilah suku Dayak Bukit menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah "bukit" berarti "bagian bawah dari suatu pohon" alias pangkal pohon, yang juga bermakna "orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya". Kata Bukit yang bermakna " Pangkal " ini jelas menunjukan asal mereka yaitu berpangkal dari Banua bukit di Kalimantan Barat jadi pada dasarnya istilah Bukit ini tidak bearti Bukit / gunung, hanya saja sudah telanjur di maknai dengan arti orang gunung oleh orang luar. Dayak Bukit merupakan masyarakat yang masih memegang adat tradisi budaya Banjar lama. Suku Banjar sendiri jika diperhatikan dari bahasanya merupakan campuran antara bahasa Dayak Biaju, Dayak Maanyan, bahasa Jawa dan Bahasa Dayak Kendayan, Tetapi oleh sebagian kecil kelompok masyarakat Banjar yang fanatik menyatakan bahwa moyang mereka adalah melayu sumatera hal ini dapat di fahami karena akibat pengaruh Islam ( bahwa di masa lampau agama Islam oleh orang Dayak di sebut agama Melayu ). Jika kita runut kembali sejarah terbentuknya suku Banjar yang bermula Sejak Kerajaan Banjar menjadi Islam, disitu akan kita ketahui bahwa Raja Banjarmasin yang menganut agama Islam pertama yaitu pangeran Suriansyah (seorang Blasteran Jawa-keling ) beliau di angkat menjadi raja oleh dua belas orang Demang Dayak Ngaju dan patih Masih, yang dikatakan sebagai seorang Patih melayu. Harap di ingat dan di fahami bahwa Pangeran Suriansyah sendiri pada waktu itu tidak pernah memerintahkan agar rakyatnya yang terdiri atas orang Biaju, orang Maanyan, orang Kendayan yang dikira melayu ( mengingat pada waktu itu istilah suku Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk [7], dan seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa nama salah satu Banua Dayak Kendayan Kalimantan Barat adalah Banua bukit jadi jelas bahwa keturunan masyarakat Dayak Kendayan yang berasal dari Banua bukit inilah yang dikenal sebagai Dayak Bukit / Meratus di kalimantan selatan itu )[8]. dan sekelompok kecil orang jawa untuk mengubah nama suku-nya. Patih melayu? Dalam sejarah di ketahui bahwa Gelar patih pertamakali atau mayoritas merupakan Gelar orang-orang penting atau raja-raja Dayak Kalimantan Barat. Di sumatra sendiri tidak ada gelar patih. Dimasa lalu yaitu masa dimana kepercayaan adat ( Kaharingan ), budaya Kayau dan budaya rumah Panjang ( Budaya Kayau dan Rumah Panjang muncul secara bersamaan tujuan rumah panjang ini di buat agar kekuatan terkonsentrasi untuk menghadapi kayau ) belum di kenal oleh bangsa Dayak. para pelaut Dayak Kendayan telah menyusuri pantai-pantai pulau Borneo baik ke arah utara maupun ke arah selatan. Pelaut Dayak Kendayan yang sampai ke utara Borneo membangun pemukiman di daerah sarawak timur dan Brunei sekarang ini, keturunannya di kenal dengan sebutan suku Dayak Kedayan. sementara yang menyusuri pantai ke arah selatan borneo membangun pemukiman di tengah-tengah Dayak Biaju / Ngaju, orang Dayak Kendayan ini masih memakai Bahasa Dayak Kendayan. Karena Bahasa Dayak kendayan mirip dengan bahasa melayu, oleh orang Ngaju di kira orang Melayu ( mengingat pada waktu itu istilah Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk). Dan Patih Masih adalah satu-satunya petinggi Dayak Kendayan di tanah rantau di daerah itu. Jadi pada dasarnya warga yang didefenisikan sebagai melayu oleh orang Ngaju itu tidak lain dan tidak bukan merupakan keturunan para pelaut atau perantau Dayak Kendayan yang tidak kembali. Dan mengembangkan adat tradisi serta bahasa Dayak Kendayan yang sampai saat ini dapat disaksikan pada keturunannya yang tidak mau menganut Islam, yang di sebut suku Dayak Meratus / Bukit. Dan Bahkan penamaan sebuah sungai besar di daerah Kalimantan Tengah yang oleh masyarakat Dayak Biaju sering disebut batang Biaju Kecil, dengan nama sungai Kapuas, juga merupakan nama pemberian oleh para pelaut atau perantau Dayak Kendayan ( karena waktu pertamakali mereka datang, nama sungai tersebut tidak diketahui oleh mereka ), sama seperti nama sungai besar di daerah asalnya yaitu sungai kapuas di kalimantan Barat. Intinya bahwa suku Banjar merupakan keturunan Blasteran antara Dayak Kendayan dengan Dayak Biaju, Dayak Maanyan dan sedikit pendatang Jawa.[sunting] Budaya Telinga Panjang
Di masa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban dan Dayak Punan saja, sementara pada masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan. Apakah Masyarakat Dayak lain tidak punya budaya ini? Sejujurnya hampir semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini hanya saja sudah lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan arab serta China atau etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang meninggalkan budaya ini di masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang. Pada masyarakat Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu misalnya, dari cerita orang tua di kampung Tititareng kecamatan Menyuke darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang masih terdapat seorang nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan Nenek tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat Dayak rumpun Apokayan masih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini, Jika kita perhatikan bahwa kebanyakan sesepuh adat atau orang yang dituakan atau orang-orang penting dalam strata sosial adat masyarakat Dayak rumpun apokayan ini kebanyakan adalah kaum wanita. Kaum wanita umumnya dikenal cenderung sangat teguh mempertahankan kebiasaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat ketimbang kaum pria, apalagi jika tradisi tersebut sudah dianggap sebagian dari adat yang harus dilestarikan, maka sudah tentu akan di pertahankan, dan terutama jika para orang penting yang umumnya kaum wanita tersebut selalu menganjurkan agar kaum wanita tetap memanjangkan telinganya. Namun meski demikian seiring perkembangan jaman hal tersebut akhir-akhir ini nampaknya sudah berada pada kondisi yang kritis dimana banyak kaum wanita masyarakat Dayak rumpun apokayan ini meninggalkan budaya telinga panjang dengan cara memotongnya.[sunting] Budaya Tatto
Tatto pada masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang secara langsung memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik kaum pria maupun kaum wanita sama-sama mempunyai tatto. Sementara motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan strata sosial yang berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan orang-orang penting seperti para temenggung, para Baliatn, para Demang dan para Panglima perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah banyak ditinggalkan, dengan berbagai alasan, meski cukup banyak juga generasi Dayak yang sadar untuk terus mengembangkannya.[sunting] Kayau
Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah Dayak Kendayan ). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar suku seperti perang dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan beberapa waktu yang lalu, yang korbannya tidak pandang bulu apakah seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok musuh. Kayau tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah pasukan Kayau yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa silam Kayau umumnya dilakukan terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya. Peristiwa Kayau yang terekam sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kendayan ) Kalimantan Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah, meskipun cerita yang beredar di kalangan masyarakat Dayak Kendayan dimasa kini menyebutkan bahwa nama Biaju ini sering di katakan sebagai Dayak Bidayuh sungkung, dan hal ini diperparah oleh para penulis buku-buku tentang sejarah Kalimantan Barat yang menerima begitu saja cerita dalam Masyarakat tanpa ditelaah lebih lanjut dan bahkan beberapa penulis dengan gampangnya menyebutkan bahwa Dayak Biaju ini punya pulau tersendiri di luar Borneo hanya karena mendengar cerita rakyat yang mengatakan bahwa mereka datang memakai Ajong / Kapal, padahal sebenarnya satu pulau dengan Dayak Kendayan hanya saja untuk sampai ke daerah asalnya memang melalui sungai dan laut. Hal ini terjadi ditengarai oleh awalan kata Biaju dan Bidayuh yang sama-sama diawali oleh kata "Bi" dan kedua-duanya mempunyai bunyi kata yang hampir mirip (BI-AJU dan BI-dAYUh), padahal yang namanya cerita lisan pasti cukup beresiko mengalami perubahan. Namun yang sangat pasti dan jelas kata Biaju secara tegas di sebutkan dalam cerita tersebut.[9][10][sunting] Senjata Sukubangsa Dayak
- Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
- Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
[sunting] Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
- Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
- Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
- Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
- Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
- Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
- Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
- Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
- Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
- Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
- Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
[sunting] Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
[sunting] Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
[sunting] Prosesi penguburan sekunder
Prosesi penguburan sekunder- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- wara
- marabia
- mambatur (Dayak Maanyan)
- kwangkai (Dayak Benuaq)
SUKU DAYAK
Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli[1] yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai dimasa sekarang yaitu setelah berkembangnya agama Islam di Borneo, sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Seperti sebutan Bidayuh dari bahasa kekeluargaan Dayak Bidayauh itu sendiri yaitu asal kata "Bi" yang bearti "orang" dan Dayuh yang bearti " Hulu" jadi Bidayuh bearti "orang hulu". Sebutan Ot Danum yang berasal dari bahasa mereka sendiri yaitu asal kata "Ot" yang bearti hulu dan Danum yang bearti "air" jadi Ot Danum bearti Hulu Air ( sungai ) yaitu orang-orang yang bermukim di daerah hulu. Sebutan Biaju dari bahasa Biaju ( Lama / kuno ) sendiri yang berasal dari kata "Bi" yang bermakna "Orang" dan kata "Aju / Ngaju" yang bermakna hulu jadi Biaju bermakna "orang hulu". Di daerah sarawak Malaysia suku Dayak rumpun Apokayan ( Kayan, Kenyah dan Bahau ) sering disebut "Orang Ulu" ini juga merupakan pe-melayu-an dari kata " Apokayan" itu sendiri. Sementara itu warga Dayak Kendayan setelah kedatangan Islam oleh orang luar juga sering disebut "orang hulu" dan diterjemahkan ke dalam bahasa mereka sendiri dengan kata " Daya". Jadi sangat jelas bahwa sebutan Dayak ini adalah sebutan kolektif karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa, yang kehidupannya sangat erat berhubungan dengan sungai ( Budaya Sungai ), hal ini disebabkan karena setelah kedatangan Islam hampir seluruh perkampungan orang-orang Borneo asli yang masih berbudaya asli ( Dayak ) banyak terdapat tidak di pesisir pantai laut lagi ( meski di beberapa wilayah masih terdapat di pesisir pantai Laut ), melainkan di sepanjang daerah aliran sungai ( DAS ). Kata Dayak sendiri selain berasal dari bahasa Dayak Kendayan, juga berasal dari bahasa Dayak kenyah dan Dayak lainnya, yakni dari istilah kata " Daya" yang memiliki dua arti yakni "daerah hulu" dan "kekuatan". ketika ada orang lain yang menanyai seseorang yang hendak ke daerah hulu dimasa lampau dengan kalimat dalam bahasa Dayak Kendayan seperti ini: Ampus Ka mane kau? maka akan di jawab oleh orang yang di tanyai sebagai berikut: Aku Ampus ka daya...yang artinya " pergi ke mana kau? aku pergi ke hulu". Dimasa dahulu dalam naskah-naskah Jawa kuno pulau kalimantan disebut "Nusa Kencana" yang bearti pulau emas, namun oleh orang Jawa kebanyakkan lebih sering disebut "Tanah Sabrang" penghuninya adalah "Orang Sabrang" sebutan orang Dayak oleh orang Jawa di masa lampau. Jadi jelaslah bahwa istilah "Dayak" bukan berasal dari bahasa Jawa yang bermakna sebagai sesuatu yang compang-camping, urakan dan sejenisnya. istilah "ndayakan" dalam bahasa Jawa sendiri tergolong masih baru yaitu terbentuk dimasa penjajahan Belanda. Istilah ini di populerkan oleh para prajurit Belanda yang berasal dari orang Jawa yang ketika mereka datang ke pedalaman jauh kalimantan ( Yang sangat jauh dari pantai ) mereka melihat banyak orang Dayak yang berpakaian seadanya yang terbuat dari kulit kayu atau kain yang sudah compang-camping, lusuh dan urakan. suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni Rumpun atau stanmenras Klemantan alias Kalimantan, Stanmenras Iban, Stanmenras Apokayan yaitu Dayak Kayan,kenyah dan bahau, Stanmenras Murut, Stanmenras Ot Danum-Ngaju dan Stanmenras Punan. Penduduk Madagaskar adalah keturunan para pelaut Dayak Ma'anyan dimasa lampau yaitu dimasa Islam belum datang ke Indonesia. mereka masih menggunakan bahasa Dayak Ma'anyan (Bahasa Barito) yang bercampur dengan sedikit bahasa jawa dan melayu.
Langganan:
Postingan (Atom)